“Kak, Dik, kalian pilih pandai bergaya atau bergaya pandai?”
Sudah menjadi rahasia umum, internet melahirkan sebuah dunia maya yang telah memberikan banyak peluang dan kesempatan bagi semua orang untuk tampil, mengekspresikan diri, menunjukkan karya dan kreasi atau sekedar memamerkan apa yang dimiliki. Namun, terkadang karena sedemikian mudah dan bebasnya bermain di social media, batasan kesopanan dan kesusilaan dalam bersosialisasi dilanggar tanpa sungkan dan tanpa peduli lagi. Yang didahulukan adalah tujuan meneguhkan eksistensi, meraup pengakuan atas keberadaan diri, atau malah untuk sekedar menipu dan memanipuasi orang lain untuk kepuasan dan kepentingan diri sendiri.
“Kakak tak memilih kedua–duanya.” Demikian ujar anak pertama saya, seorang anak laki–laki di awal masa remajanya. Ia kini tinggal di dunia yang kompleks, di tengah-tengah berbagai kecamuk rasa karena begitu meluapnya pengaruh media dan terpaan informasi dari segala penjuru. Jawaban yang diplomatis, cukup masuk akal dan melegakan, mengingat pertanyaan yang disampaikan hanya sekedar pancingan. Dan tidak memilih keduanya pun juga merupakan pilihan untuk dihormati.
“Adik memilih kedua–duanya.” Si anak laki–laki kedua dengan cara tutur lucu dan gaya lugu menjawab dengan setengah ragu–ragu. Di usianya yang masih tujuh tahun, wajar lah jika pertanyaan di atas masih belum mampu dicerna dengan sempurna. Walaupun ternyata jawabannya juga di luar dugaan saya. Memilih kedua–duanya adalah pilihan juga.
Pandai bergaya dan bergaya pandai toh di jaman maju yang didukung keberadaan teknologi komunikasi informasi yang canggih, bisa dilakukan dan dipelajari dengan mudah oleh siapapun dan di mana saja berada. Ada rasa lega dalam hati saya meski sebenarnya tersimpan keinginan untuk bisa mengajak mereka ke masa lalu. Masa kecil di mana suka, duka, bangga, kecewa, memar dan luka didapatkan dari perwujudan imajinasi dan kreasi dalam olah raga, gerak fisik dalam ragam permainan di luar rumah, di pinggir kali, di sawah dan kebun serta di jalanan. Bukan didapatkan dari hasil yang didapatkan dalam permainan berbasis aplikasi di HP atau berapa jumlah ‘like’ dan ‘comment’ serta ‘share’ yang didapatkan dari postingan karyanya di media sosial.
Namun bisakah keinginan saya terwujud jika semua teman-teman anak saya lebih banyak aktivitasnya di dunia maya? Hingga upaya yang tersisa untuk bisa dilakukan adalah mempertahankan sisi manusiawi mereka saja yang berpatokan pada nilai–nilai kejujuran, kesopanan, kesusilaan dengan benteng terakhir adalah ajaran–ajaran kebaikan agama.
“Kalau Ayah, memilih menjadi orang ‘pandai bergaya’ atau ‘bergaya pandai’?” tanya anak sulung saya. "Ayah juga tak memilih kedua–duanya, tapi Ayah baru belajar untuk ‘pandai bergaya pandai’!”
Seperti yang diduga sebelumya, mereka berdua pun mengernyitkan dahi berusaha keras memahami jawaban ayahnya. Tapi biarlah mereka dengan rasa penasarannya untuk saat ini lalu menemukan jawabannya sendiri di suatu masa dalam perjalanan hidupnya di masa depan nanti.
Thursday, 2 February 2017
Pilih Mana: Pandai Bergaya Atau Bergaya Pandai?
Pertama Kali, Ilmuwan Ciptakan Embrio Campuran Babi dan Manusia
Ilmuwan berhasil menciptakan embrio campuran babi dan manusia untuk pertama kalinya.
Embrio tersebut terdiri dari 99,999 persen sel babi dan 0,001 persen sel manusia.
Keberhasilan itu disambut gembira oleh para ilmuwan yang bergerak dalam bidang genetika, kedokteran, dan sel punca.
Namun demikian, sejumlah ilmuwan lain menggarisbawahi tantangan etika dan dampak tak terduga dari riset kontroversial itu.
Juan Carlos Izpisua Belmonte dari Salk Institute yang memimpin proyek itu menerangkan, embrio campuran babi dan manusia itu dibuat dengan teknik transplantasi sel punca.
Sel punca manusia - sel potensi tinggi yang mampu berkembang menjadi beragam jaringan - dicangkokkan dalam embrio babi.
Embrio dengan sel punca manusia lantas dimasukkan dalam kandungan babi dan dibiarkan berkembang selama sebulan sebelum digugurkan.
Dalam sebulan, ilmuwan mengamati perkembangan sel babi dan manusia.
Penelitian menunjukkan, proses pembuatan embrio campuran dengan teknik itu sangat tidak efisien.
Dari 2.075 embrio yang dicangkokkan, hanya 186 yang bisa berkembang hingga 28 hari.
Meski demikian, sel-sel manusia terlihat berfungsi dan berpotensi berkembang dengan baik.
"Ini pertama kalinya sel manusia terlihat berkembang dalam hewan berukuran besar," kata Belmonte seperti dikutip BBC, Kamis (27/1/2017).
Soal inefisiensi, Belmonte mengatakan, itu terkait evolusi babi dan manusia yang terpaut jauh.
Perkembangan janin babi dan manusia juga berbeda jauh. Babi hanya butuh 4 bulan dari embrio hingga bayi sementara manusia butuh 9 bulan.
"Ini seperti jalan bebas hambatan di mana satu mobil bergerak lebih cepat dari yang lain, ada kemungkinan terjadi kecelakaan," kata Belmonte.
Potensi dan Tantangan
Ada banyak potensi ketika sel manusia bisa dikembangkan di tubuh hewan.
Potensi pertama, manusia bisa mempelajari cara pengobatan penyakit dengan lebih baik.
Jika babi bisa punya organ hati seperti manusia misalnya, maka tes keefektifan obat untuk pengobatan penyakit bisa mendapatkan akurasi lebih tinggi.
Potensi lain, manusia bisa mempelajari perkembangan embrio lebih baik sehingga meningkatkan pemahaman tentang abnormalitas saat perkembangan janin.
Yang lebih besar, manusia bisa mengembangkan organ tertentu di tubuh hewan.
Organ yang dikembangkan - bisa berupa ginjal, hati, ataupun pankreas - bisa didonorkan pada yang membutuhkan.
Kebutuhan organ donor kini cukup tinggi.
Setiap 10 menit, satu orang menunggu organ donor. Sementara, setiap hari, 22 orang mati karena tak menerima organ yang dibutuhkan.
Jun Wu, penulis utama publikasi penelitian ini di jurnal Cells, mengatakan, "Mendapatkan efisiensi 0,1 hingga 1 persen saja sebenarnya cukup."
"Bahkan dalam perkembangan awal selama 28 hari saja, sudah ada ribuan sel manusia yang terdapat dalam miliaran sel dalam keseluruhan embrio babi. Mengujinya akan berarti dan berguna," imbuhnya.
Namun untuk mewujudkan potensi itu, terdapat pula sejumlah tantangan.
Untuk meningkatkan efisiensi misalnya, bagaimana caranya?
Hal lain, bagaimana mencegah agar sel punca manusia tidak masuk dalam area otak dalam embrio?
Jika sel punca masuk ke area otak dalam embrio, babi mungkin akan punya sejumlah karakter dan kemampuan otak manusia.
"Sejauh ini kami tidak melihat ada sel manusia di area otak, tak kami juga tak bisa menghapus kemungkinan itu," ujar Belmonte.
Keberhasilan pada Tikus
Studi yang dipublikasikan di jurnal Nature pada Rabu (25/1/2017) mengungkap keberhasilan serupa pada tikus.
Genom tikus disunting sehingga kehilangan gen yang bertugas membentuk pankreas. Sel punca dari hewan lain, tikus putih, lalu ditransplantasikan pada embrio itu.
Embrio tikus berkembang dengan pankreas dari tikus putih. Pankreas itu lantas dicangkokkan pada tikus putih untuk mengatasi diabetes.
Ke depan, diharapkan embrio campuran babi dan manusia itu bisa menghasilkan hal yang sama.