Friday, 9 September 2016

Benteng Marlborough


Benteng Marlborough.
Benteng Marlborough (Fort Marlborough) merupakan salah satu obyek wisata sejarah dan budaya andalan yang dimiliki oleh Kota Bengkulu. Benteng peninggalan Inggris awal abad ke-18 ini dibangun oleh East Indian Company (sebuah usaha dagang Inggris terbesar di Nusantara waktu itu) selama kurang lebih enam tahun (tepatnya pada tahun 1713—1719) di bawah kepemimpinan Gubernur Joseph Callet ketika berkuasa di Bengkulu. Secara keseluruhan, benteng yang bangunannya menyerupai kura-kura ini berdiri di atas tanah seluas sekitar 44.100 meter persegi dan menghadap ke arah selatan.

Secara historis, Benteng Marlborough dianggap sebagai peninggalan terbesar Inggris di Indonesia. Meskipun latar belakang pembangunan benteng ini adalah untuk kepentingan pertahanan/militer, namun seiring berjalannya waktu, Benteng Marlborough kemudian juga difungsikan untuk kepentingan perdagangan. Benteng ini dijadikan sebagai tempat koordinasi bagi kelancaran suplai lada bagi perusahaan dagang Inggris, East Indian Company, dan pusat pengawasan jalur pelayaran dagang yang melewati Selat Sunda.

Selain itu, benteng yang pernah digunakan sebagai tempat penahanan Bung Karno ini juga digunakan sebagai tempat tinggal oleh para petinggi militer Inggris dan pegawai East Indian Company. Dalam catatan British Library, pada tahun 1792 terdapat kurang lebih 90 pegawai sipil dan militer tinggal dan bekerja dalam benteng ini. Secara fungsional, benteng ini akhirnya lebih menyerupai hunian dalam sebuah kota kecil daripada pusat pertahanan militer atau kantor perdagangan. Hal ini dapat dilihat dari catatan-catatan yang terkait dengan perkawinan, pembaptisan, dan kematian, yang masih tersimpan rapi di dalam benteng ini.

Wednesday, 7 September 2016

Danau Dendam Tak Sudah

Danau Dendam Tak Sudah (photo : adieb)
Di Kota Bengkulu, terdapat sebuah danau indah yang disebut Danau Dendam Tak Sudah, yang oleh Pemerintah Indonesia ditetapkan sebagai kawasan cagar alam. Danau yang terkenal dengan kekayaan flora dan faunanya ini telah mengalami beberapa kali perluasan area.

Pertama, tahun 1936, Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan ini sebagai cagar alam melalui Stb 1936 No. 325 tanggal 17 Juni 1936 dengan luas 11,5 hektar. Kedua, tahun 1979, berdasarkan Surat Gubernur Bengkulu No. 1666/B4-1/1979 tanggal 15 Mei 1979, kawasan ini dipeluas menjadi 430 hektar. Ketiga, tahun 1999, melalui SK Menteri Kehutanan No. 420/Kpts-II/1999 tangal 15 Juni 1999, kawasan cagar alam Danau Dendam Tak Sudah bertambah luas menjadi 577 hektar.

Kawasan Danau Dendam Tak Sudah merupakan kawasan cagar alam yang memiliki keindahan alam yang mempesona dan menyimpan banyak potensi bagi kelestarian ekologi dan keseimbangan ekosistem. Danau yang dikelilingi bukit-bukit berhutan lebat ini merupakan habitat utama bagi tumbuhan endemic langka, yaitu anggrek pensil (Vanda hookeriana). Pada tahun 2003, Badan Koordinasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kota Bengkulu, menyebutkan ada lima fungsi utama yang diperankan oleh Danau Dendam tak Sudah, yaitu: (1) sebagai kawasan konservasi bagi keanekaragaman hayati; (2) sebagai sumber air yang digunakan untuk keperluan irigasi; (3) sebagai daerah cadangan air; (4) sebagai media pembelajaran alam untk kepentingan ilmiah; dan (5) sebagai tempat rekreasi.

Di danau ini juga hidup beberapa jenis ikan langka yang berasal dari famili Anabantidae, yaitu Trichogaster trihopterus, Helstoma termminchi, Trichogaster pectoralis, Anabas testudieus, dan Polcampus hasselti, dari famili Bagridae yaitu Mystus sp, dan dari famili Cyprinidae yaitu Mystacoleucus marginatus dan Rasbora sumatranus.

Tuesday, 6 September 2016

Soekarno Dalam Pengasingan di Bengkulu

Bung Karno bersama Ibu Fatmawati. [photo : arsip nasional]
Siapa tidak kenal Bung Karno? Dia adalah presiden pertama Republik Indonesia .Ir. Soekarno lahir di  Jawa Timur pada tanggal 6 Juni 1901 dan meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945–1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Soekarno adalah penggali Pancasila karena ia yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai dasar negaraIndonesia itu dan ia sendiri yang menamainya Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Presiden pertama yang akrab dengan panggilan Bung Karno ini pernah diasingkan di Bengkulu ini pada masa pemerintahan kolonial Belanda tahun 1938, dan masa pengasingan di Bengkulu berakhir pada tahun 1942.


Sejarah Pengasingan Bung Karno
Hidup di pengasingan bukanlah hal yang baru bagi Bung Karno. Sebelumnya pada 1928, Bung Karno pernah diasingkan di daerah Banceuy (Bandung). Kemudian dipindahkan ke Sukamiskin pada 1930—1932. Setelah itu, beliau harus menjalani masa pembuangan di Flores pada 1934.
Selama dalam masa pengasingan, Bung Karno tetap mengadakan kontak dengan dunia luar. Oleh karena itu, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan maklumat Vergader Verbod. Maklumat tersebut berisi perintah bahwa pada tanggal 14 Februari 1938, Bung Karno harus menjalani sisa masa pembuangan terakhir ke Bengkulen (Bengkulu) beserta keluarganya. Bung Karno kemudian berangkat ditemani dengan istri pertamanya yang bernama Inggit Ganarsih. Mereka berangkat dari Flores dengan menumpang kapal dagang Belanda yang bernama Sloot Van Den Beele.

Masa Pengasingan di Bengkulu
Sesampainya di Bengkulu, Bung Karno diinapkan selama dua minggu di sebuah hotel bernama Centrum. Sebab, saat itu belum ada tempat tinggal yang layak huni. Setelah rumah disiapkan, barulah Bung Karno dan keluarganya mulai hidup di pengasingan. Rumah yang disediakan untuk Bung Karno selama menjalani pengasingannya di Bengkulu, Bung Karno ditempatkan di sebuah rumah yang awalnya adalah tempat tinggal orang Cina yang bernama Tan Eng Cian. Tan Eng Cian adalah pengusaha yang menyuplai bahan pokok untuk kebutuhan pemerintahan kolonial Belanda. Soekarno menempati rumah tersebut dari tahun 1938 hingga tahun 1942. Rumah ini berjarak sekitar 1,6 km dari Benteng Malborough. Rumah yang berada pada koordinat 0,3o 47l 85,1ll Lintang Selatan dan 102o15l 41,7ll  Bujur Timur ini berada di ketinggian 64 m di atas permukaan laut.
Rumah yang dibangun pada awal abad ke-20 ini berbentuk empat persegi panjang. Bangunan ini tidak berkaki dan dindingnya polos. Pintu masuk utama berdaun ganda, dengan bentuk persegi panjang. Bentuk jendela persegi panjang dan berdaun ganda. Pada ventilasi terdapat kisi-kisi berhias. Rumah dengan halaman yang cukup luas ini memiliki atap berbentuk limas. Luas bangunan rumah ini adalah 162 m2, dengan ukuran 9×18 m.
Dulu luas keseluruhan rumah ini mencapai 4 hektar. Selain rumah utama, ada beberapa bangunan lain. Dengan berjalannya waktu, oleh Pemerintah Propinsi Bengkulu lahan yang ada kemudian dibagi-bagi untuk rumah penduduk dan sebagian untuk gedung instansi pemerintah daerah setempat.
Walaupun diawasi dengan ketat, Bung Karno masih mengadakan kontak dengan pemuda dan tokoh-tokoh yang ada di luar lokasi pengasingan. Di antaranya adalah Buya Hamka, M. Husni Thamrin, dan K.H. Mas Mansur.
Selama di pengasingan, Bung Karno banyak menyumbangkan jasanya pada masyarakat. Ia mendirikan Masjid Jami’ di Jalan Soeprapto dan kelompok diskusi ilmiah bernama Debating Cerdas Club. Beliau juga mendirikan kelompok sandiwara Montecarlo sebagai media untuk menyusun strategi agar kemerdekaan Indonesia tercapai.

Bertemu dengan Ibu Fatmawati
Kepribadian beliau yang supel, ramah, dan sederhana dengan cepat mendapat simpati dari pemuka masyarakat setempat. Salah satunya adalah Hasan Din. Ia kemudian menjodohkan Bung Karno dengan putrinya yang bernama Fatmah. Bung Karno pun berpisah dengan istri pertamanya dan menikah dengan Fatmah pada 1943.
Fatmah kemudian berganti nama menjadi Fatmawati. Dalam catatan sejarah bangsa Indonesia, seluruh rakyat mengenal Fatmawati sebagai wanita pertama yang menjahit bendera sang saka Merah Putih. Atas jasanya tersebut, beliau dianugerahi Bintang Maha Putera Adi Perdana sebagai Pahlawan Perintis Kemerdekaan.

Monday, 5 September 2016

Mengenal Ibu Fatmawati


Ibu Fatmawati
Masa Kecil Fatmawati
Fatmawati lahir pada hari Senin, 5 Pebruari 1923 Pukul 12.00 Siang di Kota Bengkulu, sebagai putri tunggal keluarga H. Hassan Din dan Siti Chadidjah. Masa kecil Fatmawati penuh tantangan dan kesulitan, akibat sistem kolonialisme yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Ayahandanya, Hassan Din semula adalah pegawai perusahaan Belanda, Bersomij di Bengkulu. Tetapi karena tidak mau meninggalkan kegiatannya sebagai anggota Muhammadiyah, ia kemudian keluar dari perusahaan itu. Setelah itu, Hassan Din sering berganti usaha dan berpindah ke sejumlah kota di kawasan Sumatera Bagian Selatan.
Tidak banyak diketahui orang bahwa sebenarnya Fatmawati merupakan keturunan dari Kerajaan Indrapura Mukomuko. Sang ayah Hassan Din adalah keturunan ke-6 dari Kerajaan Putri Bunga Melur. Putri Bunga Melur bila diartikan adalah putri yang cantik, sederhana, bijaksana. Tak heran bila Fatmawati mempunyai sifat bijaksana dan mengayomi.


Kisah Cinta Bung Karno dan Fatmawati
Jalinan cinta antara Bung Karno dan Fatmawti pada awalnya membutuhkan perjuangan yang sangat berat. Demi memperoleh Fatmawati yang begitu dicintainya Bung Karno dengan perasaan yang sangat berat terpaksa harus merelakan kepergian Bu Inggit, sosok wanita yang begitu tegar dan tulusnya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai Indonesia Merdeka.  Pahit getir sebagai orang buangan (tahanan Belanda) sering dilalui Bung Karno bersama Bu Inggit. Namun sejarah berkata lain. Perjalanan waktu berkehendak lain, kehadiran Fatmawati diantara Bung Karno dan Bu Inggit telah merubah segalanya.

Pada tahun 1943 Bung Karno menikahi Fatmawati, dan oleh karena Fatmawati masih berada di Bengkulu, sementara Bung Karno sibuk dengan kegiatannya di Jakarta sebagai pemimpin Pusat Tenaga Rakyat (Putera), pernikahan itu dilakukan dengan wakil salah seorang kerabat Bung Karno, Opseter Sardjono. Pada 1 Juni 1943, Fatmawati dengan diantar orang tuanya berangkat ke Jakarta, melalaui jalan darat, sejak itu Fatmawati mendampingi Bung Karno dalam perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.

Perjalanan sepasang merpati penuh cinta ini, akhirnya dikaruniai lima orang putra-putri: Guntur, Mega, Rachma, Sukma, dan Guruh. Belum genap mereka mengarungi bahtera rumah tangga, Sukarno tak kuasa menahan gejolak cintanya kepada wanita lain bernama Hartini. Inilah salah satu pangkal sebab terjadinya perpisahan yang dramatis antara Sukarno dan Fatmawati.

Kisah Dua Carik Kain Merah dan Putih
Pada tahun 1944, Jepang menjan­jikan kemerde­­kaan untuk Indonesia. Bendera Me­rah Putih diizinkan untuk diki­bar­kan dan lagu Indonesia Raya boleh diku­man­dang­kan di seluruh Nu­san­tara. Ibu Fat, istri Bung Kar­no “Sang Prok­lamator”, termasuk orang yang bingung karena tidak punya bendera untuk dikibarkan di depan rumahnya, Jalan Pegang­saan Timur 56 Jakarta, bila nanti kemerdekaan diproklamasikan.

Membayangkannya memang sulit. Saat sebagian rakyat Indonesia tak punya pakaian dan memakai kain karung, Ibu Fat perlu kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Kain saat itu adalah barang langka, apalagi barang-barang eks impor semuanya masih dikuasai Jepang.

Ibu Fat kemudian memanggil seo­rang pemuda bernama Chaerul Basri. Sang pemuda di­min­tanya untuk menemui pembesar Jepang bernama Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih itu. Shimizu (masih hidup di Jepang dalam usia 92 tahun pada 2004) adalah orang yang ditunjuk pemerintah Jepang sebagai perantara dalam perundingan Jepang-Indonesia tahun 1943. Kedudukan/jabatan resminya saat itu adalah pimpinan barisan propaganda Jepang yaitu Gerakan 3A.

Memang benar, Shimizu dapat membantu Chaerul. Kain merah dan putih yang dibutuhkan Ibu Fat diperoleh melalui pertolongan pembesar Jepang lain yang mengepalai gudang di bilangan Pintu Air, di depan eks bioskop Capitol.

Walaupun kandungannya sudah tua (mengandung putera pertamanya Moh. Guntur Soekarno Putra), sehingga ia tidak boleh mempergunakan mesin jahit kaki, sehingga bendera merah putih itupun dijahit dengan jahit tangan.

Catatan menarik terjadi Tahun 1977, saat Shimizu ber­kunjung ke Indonesia dan bertemu dengan Presiden Soeharto, Malam harinya, Shimizu mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh Indonesia yang pernah dikenalnya di zaman Jepang. Pada malam itulah, Ibu Fat menjelaskan kepada Shimizu bahwa bendera Merah Putih yang dikibarkan pertama kali di Pegangsaan Timur 56 dan pada hari Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 —yang se­karang dikenal dengan Bendera Pusaka— kainnya berasal dari Shimizu.

Proklamasi 17 Agustus 1945
Hari Jumat di bulan Ramadhan, pukul 05.00 pagi, fajar 17 Agustus 1945 memancar di ufuk timur kala, embun pagi masih menggelantung di tepian daun, para pemimpin bangsa dan para tokoh pemuda keluar dari rumah Laksamana Maeda, dengan diliputi kebanggaan setelah merumuskan teks Proklamasi hingga dinihari. Mereka, telah sepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia hari itu di rumah Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada pukul 10.00 pagi.

Tepat pukul 10.00, dengan suara mantap dan jelas, Soekarnomembacakan teks proklamasi, pekik Merdeka pun berkumandang dimana-mana dan akhirnya mampu mengabarkan Kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.

Kalau ada yang bertanya, apa peran perempuan menjelang detik-detik proklamasi kemerdekaan? Tentu kita akan teringat dengan sosok Fatmawati, istri Bung Karno.  Dialah yang menjahit bendera Sang Saka Merah Putih. Setelah itu, ada seorang pemudi Trimurti yang membawa nampan dan menyerahkan bendera pusaka kepada Latief Hendraningrat dan Soehoed untuk dikibarkan. Dan, semua hadirin mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Pada hari itu, Ibu Fatmawati ikut dalam upacara tersebut dan menjadi pelaku sejarah Kemerdekaan Indonesia.

Ibu Negara Pertama
Salah satu butir keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya tanggal 19 Agustus 1945 adalah memilih Bung Karno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia. Pada tanggal 4 Januari 1946 pusat pemerintahan Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta karena keadaan Jakarta dirasakan makin tidak aman, menyusul hadirnya tentara NICA yang membonceng kedatangan tentara sekutu.

Di kota gudeg itu, Ibu Fatmawati mendapatkan banyak simpati, karena sikapnya yang ramah dan mudah bergaul dengan berbagai lapisan masyarakat. Sebagai seorang Ibu Negara, Ibu Fatmawati kerap mendampingi Bung Karno dalam kunjungan ke berbagai wilayah Republik Indonesia untuk membangkitkan semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda dan mengikuti kunjungan Presiden Soekarno ke berbagai Negara sahabat.

Peran serta wanita dalam pembangunan telah ditunjukkan Ibu Fatmawati, beliau sering melakukan kegiatan social, seperti aktif melakukan pemberantasan buta huruf, mendorong kegiatan kaum perempuan, baik dalam pendidikan maupun ekonomi.

Penghargaan dan Mengenang Ibu Fatmawati
Rumah Sakit Fatmawati pada mulanya bernama Rumah Sakit Ibu Soekarno, terletak di Kelurahan Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Wilayah Jakarta Selatan, Didirikan pada tahun 1954 oleh Ibu Fatmawati Soekarno.

Semula direncanakan untuk dijadikan sebuah Sanatorium Penyakit Paru-paru bagi anak-anak. Pada tanggal 15 April 1961 penyelenggaraan dan pembiayaan rumah sakit diserahkan kepada Departemen Kesehatan sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi RS Fatmawati. Dalam perjalanan RS Fatmawati, tahun 1984 ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Jakarta Selatan dan tahun 1994 ditetapkan sebagai RSU Kelas B Pendidikan.

Di Kota Bengkulu, sebagai kota kelahiran Ibu Fatmawati, Pemerintah Daerah beserta seluruh elemen memberikan apresiasi terhadap Ibu Fatmawati. Sebagai bentuk penghargaan dan sekaligus untuk mengenang Ibu Fatmawati, maka pada tanggal 14 Nopember 2001, Bandar Udara Padang Kemiling diubah menjadi Bandar Udara Fatmawati. Perubahan nama Bandar udara ini diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri.

Perjuangan Ibu Fatmawati selama masa sebelum kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan diakui oleh Pemerintah Pusat, melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 118/TK/2000 tanggal 4 Nopember 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid, maka Pemerintah Republik Indonesia memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Ibu Fatmawati.(hen)

Saturday, 3 September 2016

Potret Pemungut Limbah Batubara


Aktivitas pemungut limbah batubara [photo : adieb]
Aktivitas penambangan batubara di daerah hulu Sungai Bengkulu sudah berdampak buruk terhadap lingkungan, yang bisa membahayakan keselamatan biota sungai dan laut. Yang lebih buruk lagi adalah ancaman terhadap kualitas air bersih yang dikonsumsi masyarakat. 

Timbunan limbah batu bara yang merupakan bekas pencucian dari lokasi eksploitasi tambang di sekitar kawasan Bukit Sunur mengakibatkan sungai Bengkulu tercemar. Limbah batu bara bisa ditemukan di sepanjang Sungai Bengkulu.

Walaupun permasalahan limbah batubara sangat berdampak buruk terhadap lingkungan, tapi perlu bagi kita untuk membuka mata dan menerima kenyataan, bahwa banyak saudara-saudara kita, banyak masyarakat kita, yang menggantung hidupnya dengan jalan memungut limbah batubara demi membayar biaya sekolah anak-anak mereka dan demi memenuhi sandang mereka.


Pak Nurman sekeluarga misalnya, melaut bukan lagi menjadi pilihannya, kesehariannya sekarang berprofesi sebagai pemungut batubara yang sudah ia lakoni beberapa tahun terakhir. “Dulu saya dan keluarga menggantungkan nasib dari melaut, tapi sekarang saya lebih memilih memungut batubara karena penghasilannya cukup lumayan dibandingkan dengan melaut,” jelas Nurman ketika ditanya soal pekerjaan tetap.
Lain halnya dengan Ibu Eny, berdasarkan keterangan dari sesama pengumpul batubara, Ibu Eny adalah orang yang menampung dan membeli batubara mereka pungut terus dijual ke pabrik-pabrik di Jakarta, Bandung, Palembang dan Lampung.

“Setiap hari teman-teman pencari limbah batubara itu bisa mendapatkan lima sampai sepuluh karung ukuran 50 Kg, setiap karung dijual kepada kami dengan harga kisaran Rp.10ribu sampai Rp15ribu per karungnya,” ungkap Ibu Eny.

Dengan adanya limbah batubara tersebut, maka penghasilan para nelayan di kawasan pesisir pantai Bengkulu terutama di seputaran wilayah Pasar Bengkulu cukup lumayan, sedangkan pangsa pasarnya cukup menggiurkan karena banyak pedagang pengumpul membeli batubara.

"Kami mohon kepada pemerintah daerah agar bisa memberikan izin khusus bagi warga pencari limbah batubara tersebut, agar aman dari gangguan calo dan kami pun bisa membayar retribusi," sambung Ibu Eny

Tapi, keselamatan lingkungan haruslah menjadi prioritas bagi kita semua. Pencemaran limbah batubara itu hendaknya cepat diatasi, karena bisa mengganggu kehidupan biota laut termasuk ikan dan udang. Sekarang memang belum terasa dampak dari pencemaran batubara tersebut, karena belum ada ikan mati atau biota jenis lainnya seperti udang dan kepiting, namun antisipasinya seharusnya sudah disiapkan instansi terkait.
Majalah “Kotaku” menyempatkan diri melihat secara langsung aktivitas memungut limbah batubara. Dan ternyata, untuk mengumpulkan batubara tersebut harus mengambil risiko terbawa arus air laut atau sungai dan kemungkinan besar bisa terjangkit penyakit kulit akibat zat asam dari batu bara. Dan yang lebih memprihatinkan, anak-anak usia sekolah juga ikut membantu orang tua mereka untuk memungut tersebut.

Friday, 2 September 2016

Anggrek Pensil, Flora Langkah di DDTS

Anggrek Pensil

DDTS adalah singkatan dari Danau Dendam Tak Sudah. Nama danau ini memang terasa aneh, menyeramkan dan belum seakrab danau-danau besar, seperti Danau Toba di Sumatera Utara, Danau Maninjau dan Danau Singkarak di Sumatera Barat dan Danau Ranau di Lampung.

Namun pesona Danau Dendam Tak Sudah (DDTS) di Bengkulu ini tidak kalah indah dan eksotik. Memang, saat ini belum banyak wisatawan yang mengenal danau yang hanya berjarak sekitar 6 km dari pusat Kota Bengkulu itu.

Menilik dari namanya saja, Danau Dendam Tak Sudah sudah menyiratkan sebuah kisah tragis di baliknya. Nama danau ini diyakini terkait dengan legenda sepasang muda-mudi. Mereka mengikat janji sehidup semati, namun kisah asmara mereka tak kesampaian. Dia dijodohkan dengan laki-laki lain, padahal benih-benih cinta di hati kedua remaja ini tidak bisa dipisahkan lagi.


Lalu kedua anak muda yang dimabuk asmara itu bunuh diri ke dalam danau. Konon sejak itu di dalam danau terdapat dua ekor lintah besar, yang merupakan jelmaan sepasang kekasih tersebut.

Di masa Belanda, danau ini kemudian dibuat dam, agar lebih tertata dan tidak mudah meluap serta memudahkan pembuatan jalan. Bukti-bukti dam itu bisa terlihat hingga kini. Namun setelah merdeka pembangunan dam terbengkalai. Dam yang tak selesai itu menginspirasikan warga setempat untuk menamainya menjadi Dam Tak Sudah dan kata “Den” di depan kata “Dam” hanyalah merupakan “kerancuan” yang sengaja ditimbulkan untuk menggelitik rasa ingin tahu.

Danau seluas 37,50 hektare itu memiliki keunikan yang tidak dimiliki danau lainnya. Di bawah Danau Dendam Tak Sudah, konon terdapat gunung berapi.

Danau ini juga memiliki berbagai flora unik, yakni anggrek Pensil (vanda hookeriana), yang diyakini hanya tumbuh di kawasan ini. Flora unik yang lain adalah anggrek matahari, bakung, nipah, pulai, ambacang rawa, terentang, plawi, brosong, gelam, pakis dan sikeduduk.

Panorama di kawasan danau juga sangat indah. Sejauh mata memadang, pengunjung akan dimanja lanskap Bukit Barisan yang membiru dan terlihat sayup-sayup di kejauhan.

Di seputar danau kini menjadi kawasan cagar alam karena menjadi plasma nuftah bagi anggrek pensil. Juga ditemukan berbagai fauna seperti kera ekor panjang, lutung, burung kutilang, babi hutan, ular phyton, siamang, siput dan berbagai jenis ikan termasuk ikan langka seperti kebakung dan palau.

Perambahan cagar alam telah mencapai 70 persen dari luas kawasan, terutama di sepanjang kiri jalan air Sebakul-Desa Nakau. Perambahan ini telah mengancam kondisi fisik kawasan serta sejumlah flora dan fauna yang kini mulai sulit ditemui.

Beruntung, anggrek pensil yang merupakan flora unggulan Danau Dendam Tak Sudah, hingga kini masih bisa dinikmati pengunjung. Anggrek dengan bunga putih dipadu warna ungu dan bintik-bintik hitam, seperti dilansir Kapanlagi, selalu menjadi daya tarik bagi wisatawan yang datang ke danau itu.  Lutung dan kera ekor panjang pun terkadang masih bisa terlihat bergelantungan di pohon-pohon. Namun fauna lain, kini mulai jarang ditemui.

Kini danau tersebut juga berfungsi sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Kawasan ini merupakan penyuplai sebagian besar air untuk petani di kota Bengkulu serta penyimpan cadangan air tanah.

Cagar Alam Dusun Besar tempat danau ini berada memiliki topografi wilayah 0-8 persen. Ketinggian kawasan ini dari permukaan laut kurang lebih 15 meter. Bentukan lahan dari batuan yang menyusun kawasan terdiri dari batuan neogin (Pliosin dan Miosin).

Di kawasan danau, pengunjung bisa menyaksikan pemandangan alam berupa permukaan danau yang terlihat kemerahan ditimpa sang surya menjelang beranjak keperaduannya. Atraksi matahari terbit disertai udara pagi yang bersih serta semburat warna merah di permukaan danau menjelang malam sangat ideal bila diabadikan dari lensa kamera.

Keasrian danau serta lingkungan cagar alam yang luas merupakan potensi bagi wisatawan minat khusus untuk melakukan pendidikan dan penelitian. Di lokasi ini, pengunjung juga bisa berperahu dan menggunakan rakit ke seluruh penjuru danau, dan memancing.

Beberapa warga di seputar danau menyediakan pondok-pondok yang menawarkan berbagai jenis makanan seperti jagung bakar dan kelapa muda. Beberapa makanan khas Bengkulu seperti perut punai, lempuk dan kue tat juga bisa dibeli di sekitar lokasi.

Ikan Pais dan Bagar Hiu Masakan Favorit Bung Karno



Ikan Pais khas Bengkulu
Bung Karno? Nama ini sudah tidak asing lagi bagi orang Bengkulu, kalau seandainya ditanyakan kepada orang Bengkulu siapa Bung Karno, pastilah jawaban yang didapati ada beberapa versi, yang pertama, akan dijawab Bung Karno adalah Presiden Pertama Republik Indonesia, kedua, Pak Karno itu punya istri orang Bengkulu yang namanya Fatmawati, ketiga, Bung Karno itu yang mendesain arsitektur Masjid Jamik, keempat, Pak Karno itu tokoh perjuangan yang pernah diasingkan di Bengkulu, kelima, Bung Karno itu Presiden RI yang makanan favoritnya Ikan Pais dan Bagar Hiu.

Jawaban kelima memang terkesan mengada-ada tetapi itulah sepenggal cerita yang tertulis di secarik kertas pada daun pintu lemari tua di bagian belakang rumah kediaman Bung Karno di Bengkulu. Lemari tua itu sudah menyimpan berjuta kenangan manis bersama Bung Karno.


Cerita ini diyakini akan kebenarannya, selain lemari tua sebagai saksi, petugas di rumah bersejarah tersebut pun mengamini kedua makanan tersebut memang menjadi makanan favorit Bung Karno selama menjalani masa pengasingan di Bengkulu sejak 1938 hingga 1942.

Apalagi kekasih hati Bung Karno, si cantik hati dari Bengkulu, Fatmawati, sangat lihai dan pandai memasak. Hampir setiap hari gadis ini rajin mengantar makanan ke rumah Bung Karno. Ikan Pais dan Bagar Hiu adalah dua menu masakan yang selalu dirindukan oleh Bung Karno. Kelihaian Fatmawati muda dalam memasak ternyata menjadi salah satu pemikat hati Bung Karno, selain memang Fatmawati punya paras yang cantik dan berbudi pekerti baik.

Empat tahun di Bengkulu, rasanya cukup waktu untuk lidah seorang Bung Karno beradaptasi dengan makanan khas lokal Bengkulu yang berciri khas santan kelapa sebagai salah satu bahan baku utamanya dengan bumbu bawang merah, bawang putih, kunyit, daun jeruk, daun salam, dan lengkuas, aneka bumbu-bumbu dasar lainnya, melengkapi cita rasa makanan ini.

Tapi sayang, masakan khas ini hampir punah tergerus oleh kebiasaan kita mengkonsumsi makanan siap saji ala Amerika. Perlu kita syukuri bahwa masih ada pebisnis restoran yang tertarik menyajikan menu utamanya adalah masakan-masakan khas asli Bengkulu.(hen)

Kain Besurek, Batik Khas Bengkulu



Kain/Batik Besurek khas Bengkulu
Indonesia memang memiliki keberagaman adat istiadat dan budaya. Batik contohnya, hampir seluruh wilayah di Indonesia memilikinya. Tapi “lain padang lain pula belalangnya”, ungkapan tersebut terasa pas jika berbicara batik. Palembang punya songket, Jawa Barat punya piring selampat dan karang jahe, dan Bengkulu punya Kain Besurek. Ayo kita simak dan kenali batik yang satu ini untuk menambah hasanah kita soal batik nusantara.

Kain besurek adalah salah satu kain batik hasil kerajinan tradisional daerah Bengkulu yang telah diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.

Kain besurek merupakan hasil budaya masyarakat Melayu Bengkulu, tapi pada motifnya terlihat pengaruh unsur-unsur kebudayaan Islam, yaitu motifnya yang bernuansa kaligrafi Arab. Dalam perkembangan selanjutnya motif-motif tersebut dimodifikasi dengan menambahkan raflesia, bunga kibut.


Kain besurek merupakan kain khas Bengkulu. Artinya kain besurek ini dapat dijadikan sebagai ciri atau identitas masyarakat Bengkulu. Motif asli atau dasar kain besurek antara lain : 1) motif Kaligrafi Arab, Arti motif kaligrafi Arab artinya motif pada kain besurek berupa tulisan Arab, 2) Kaligrafi Arab  dan Rembulan, Motif rembulan dipadu dengan kaligrafi Arab menggambarkan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, 3) Kaligrafi Arab dan Kembang Melati, motif ini selain menunjukkan adanya pengaruh Islam (kaligrafi Arab) juga menggambarkan kehidupan flora. Bunga melati adalati salah satu jenis tanaman yang banyak terdapat serta digunakan di Bengkulu sejak dulu, 4) Kaligrafi Arab  dan Pohon Hayat dan Burung, kain besurek dengan motif ini bisa dikatakan lebih berkembang dari yang  disebutkan sebelumnya, karena terdiri dari tiga jenis motif/gambar. 

Motif kain ini menggambarkan kehidupan flora, fauna, dan pengaruh Islam, 5) Motif Kaligrafi Arab,  Kembang Cengkeh dan Kembang Cempaka. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna.Kembang cengkeh dan bunga cempaka adalah jenis tanaman yang banyak terdapat di Bengkulu, 6) Kaligrafi Arab, Relung Paku dan Burung Punai. Motif ini menggambarkan kehidupan flora dan fauna. Relung paku adalah jenis tanaman yang banyak dijumpai di Bengkulu pada jaman dahulu. Oleh karena itu tanaman inipun mengilhami para pengrajin kain besurek untuk melukisnya di atas kain.

Motif dasar kain besurek yang merupakan hasil ciptaan nenek moyang daerah ini haruslah tetap dipertahankan, karena ketujuh motif tersebut adalah inti kekhasan kain besurek Bengkulu yang tak terdapat di daerah lain. Yang membedakan dalam hal fungsi (penggunaan) adalah pada warnanya. Mempertahankan kain besurek dengan motif asli merupakan hal yang penting. 

Akan tetapi menciptakan motif-motif baru juga tak kalah pentingnya. Penciptaan motif-motif baru dengan warna-warna yang lebih beragam sangat dibutuhkan untuk lebih memasyarakatkan kain besurek. Hal initersebut umumnya sudah dilakukan oleh sebagian besar pengrajin kain besurek. Selain warna dan motif yang lebih variatif, penggunaan kain besurek pun kini lebih luas, tak terbatas pada acara atau upacara adat saja. Penggunaan di luar acara ini antara lain: untuk bahan pakaian (busana resmi, seragam), kipas, taplak meja, dan sebagainya.   Upaya tersebut sangat baik untuk dilakukan, karena masyarakat kini menjadi lebih akrab dengan kain besurek.

Selain itu, pemerintah daerah berkewajiban untuk membina perajin batik untuk merubah sistem produksi batik dari cara lama, beralih menggunakan teknologi modern, agar kualitas, kuantitas dan harga batik dapat lebih bersaing dengan batik pabrikan luar daerah.